Konsep HKI dan Royalti dalam Pajak Usaha Waralaba

Rachmat Januardi Tanjung1*, Prof. Dr. Hj. Neni Sri Imaniyati, S.H., M.H2,

1,2 Universitas Islam Bandung.

Email: [email protected], [email protected]

 

 

Abstract

Received:

03-06-2022

Intellectual Property Rights or Intellectual Property Rights (HAK HAK) which in a foreign language are referred to as "Itellectual Property Riglıts" (IPR / English) or "Getinge Eigenr" (herman) are rights that arise from the thinking of the human brain, also produce a product or process that is useful to humans[1]. In essence, IPR is the right to enjoy economically the results of a human intellectual creativity. The goal is to know the concept of Intellectual Property Rights (HAKI) and Royalties in the Franchise Business Tax. The research approach method used is normative juridical, by reviewing the adequacy of the rules regarding the concept of IPR on Royalties in the Franchise Business Tax through library research as a secondary data collection method. The results of this research use a franchise business, of course there are a number of rewards in the form of money that must be paid to foreign parties and domestic parties. The benefits associated with this franchise business can be of various types, including royalties, technical service fees, and income from the overall business which is the object of imposition of Income Tax. its protection includes brand rights, patents and copyrights, the imposition of franchise tax on royalties is to use a tax imposition system on Indonesian legal entities based on the Taxation Law which is more specifically stated in Law Number 7 of 2008 concerning Income Tax.

 

Accepted:

08-06-2022

Published:

20-06-2022

Keywords:

Intellectual Property Rights, Royalties, Franchise Business Tax

 

Abstrak

Kata kunci:

HKI, Royalti, Pajak Usaha Waralaba.

Hak Atas Kekayaan intelektual atau Hak Kekayaan intelektual (HaK HAK) yang dalam bahasa asingnya disebut dengan �Iııtellectual Property Riglıts� (IPR/İnggris) atau �Getinge Eigenıııır� (herman) merupakan hak yang timbul dari olah pikir otak manusia, juga menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia[1]. Pada intinya bahwa HaKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual manusia. Tujuannya untuk mengetahui konsep Hak Atas Kekayaan intelektual (HAKI) dan Royalti dalam Pajak Usaha Waralaba. Metode pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan mengkaji kecukupan aturan tentang Konsep HKI terhadap Royalti dalam Pajak Usaha Waralaba melalui penelusuran pustaka sebagai metode pengumpulan data sekunder. Hasil dari penelitian ini pemanfaatan bisnis waralaba tentu ada sejumlah imbalan berupa uang yang harus dibayar kepada pihak asing maupun pihak dalam negeri. Imbalan yang terkait dalam usaha waralaba ini bisa bermacam-macam jenisnya, antara lain royalti, imbalan jasa teknik, dan penghasilan dari usaha keseluruhannya merupakan objek pengenaan Pajak Penghasilan Perlindungan HAKI dalam sistem bisnis waralaba adalah dengan adanya royalti atas penerima lisensi kepada pemberi lisensi, bentuk dalam perlindungan nya meliputi hak merek, hak paten dan hak cipta, pengenaan pajak waralaba atas royalti adalah menggunakan sistem pengenaan pajak terhadap badan hukum Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Perpajakan yang lebih spesifiknya tertera di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.

Corresponding Author: Rachmat Januardi Tanjung�

E-mail: [email protected]

https://jurnal.syntax-idea.co.id/public/site/images/idea/88x31.png

 

PENDAHULUAN

Hak Atas Kekayaan lntelektual atau Hak Kekayaan lntelektual (HaK HKI) yang dalam bahasa asingnya disebut dengan �Iııtellectual Property Riglıts � (IPR atau Inggris) atau �Geitigge Eigenıııır� (herman) adalah ınerupakan hak yang timbul dari olah pikir otak manusia, juga menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia (Sukarmi & Kowagam, 2010). Pada intinya bahwa HaKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual manusia (Mahardhita & Sukro, 2018).

HaKI telah menjadi prioritas utama dalam pembangunan saat ini. Dengan kafein ik ian, maka seluruh ketentuan huku, yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual yang meliputi Hak Cipta dan Hak Milik Perindustrian (Paten, Merek, Tata letak Sirkuit Terpadu, Desain Industri, Rahasia Dagang, Varietas Tanaman Terpadu, Rekayasa Genetika) harus dimiliki oleh Indonesia(Mahardhita & Sukro, 2018).

Sebagai keutamaanya dalam proses perkembangan di Indonesia, konsep HAKI masuk dalam roda perekonomian dan bisnis seperti halnya sistem waralaba (Franchise) perspektif Hak Kekayaan Intelektual �dalam bisnis Waralaba ialah mendapatkan suatu pemberian atas lisensi atau penggunaan hak dalam �memanfaatkan, menggunakanya dengan bersama- sama dua jenis, tertentu, yaitu Merek (termasuk merek dagang, merek jasa dan indikasi asal) dan rahasia dagang konsepsi waralaba di Indonesia dapat diketahui bahwa dalam pemberian waralaba senantiasa terkait pemberian hak untuk menggunakan dan atau memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual tertentu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk merek, baik yang meliputi merek dagang maupun merek jasa, ataupun indikasi asal (indication of origin) tertentu dan suatu bentuk format, formula, ciri khas, metode, tata cara, prosedur, sistem dan lain sebagainya yang bersifat khas yang terkait dengan, dan yang tidak dapat dipisahkan dari setiap output atau produk yang dihasilkan dan selanjutnya dijual, diserahkan atau diperdagangkan dengan mempergunakan merek dagang, merek jasa atau indikasi asal tersebut di atas, yang dinamakan dengan Rahasia Dagang (Hanim, 2022). Dari kedua jenis Hak Kekayaan Intelektual tersebut, selalu dan senantiasa terdapat unsur pembeda antara waralaba yang satu dengan waralaba yang lainnya. Unsur pembeda tersebut terletak dalam sifat, bentuk dan jenis Hak Kekayaan Intelektual yang diwaralabakan (Khairiyati, 2018).

Waralaba pada hakekatnya adalah sebuah konsep pemasaran dalam rangka memperluas jaringan usaha secara cepat(Safitri, 2018). Waralaba bukanlah sebuah alternatif melainkan salah satu cara yang sama kuatnya dan strateginya dengan cara konvensional dalam mengembangkan usaha(Nazhilul Iman, 2014). Bahkan sistem waralaba dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut pendanaan, Sumber Daya Manusia (SDM) dan manajemen. Waralaba juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif untuk mendekatkan produk kepada konsumennya melalui tangan-tangan penerima waralaba (Meylen, 2013). Di Indonesia pengenakan pajak dilakukan terhadap berbagai macam sektor, salah satunya pada usaha waralaba (Kuswiratmo & SH, 2016). Usaha waralaba adalah usaha yang memiliki hak khusus yang dimiliki oleh orang perorangan atau badan usaha terhadap sistem dengan ciri khas dalam usaha dalam rangka memasarkan barang atau jasa yang telah terbukti hasil dan dapat dimanfaatkan atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba (Akbar, Ismanto, & Cadith, 2015).

Pada dasarnya suatu waralaba sebagaimana halnya lisensi adalah suatu bentuk perjanjian yang isinya memberikan hak dan kewenangan khusus kepada pihak penerima waralaba, yang dapat berwujud dalam bentuk:

1. Hak untuk melakukan penjualan atas produk berupa barang dan jasa dengan mempergunakan nama dagang atau merek dagang tertentu

2. Hak untuk melaksanakan kegiatan usaha dengan atau berdasarkan pada suatu format bisnis yang telah ditentukan oleh pemberi waralaba.

Pemanfaatan bisnis waralaba tentu ada sejumlah imbalan berupa uang yang harus dibayar kepada pihak asing maupun pihak dalam negeri (Nuratika, 2015). Imbalan yang terkait dalam usaha waralaba ini bisa bermacam-macam jenisnya, antara lain royalti, imbalan jasa teknik, dan penghasilan dari usaha keseluruhannya merupakan objek pengenaan Pajak Penghasilan (Saraka, 2020). Dalam Artikel ini penulis mencoba melihat bagaimana Konsep HKI dan Royalti dalam Pajak Usaha Waralaba.

 

METODE PENELITIAN

Metode pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan mengkaji kecukupan aturan tentang Konsep HKI terhadap Royalti dalam Pajak Usaha Waralaba melalui penelusuran pustaka sebagai metode pengumpulan data sekunder. Ketentuan Perlindungan Hukum dan Pemungutan Pajak Waralaba di negara lain juga akan dirujuk sebagai pembanding. Spesifikasi penelitian adalah deskriptif analisis dengan memaparkan permasalahan Konsep HKI terhadap Royalti dalam Pajak Usaha Waralaba untuk kemudian dianalisis. Teknik analisis data untuk perumusan masalah pertama menggunakan metode penafsiran sistematis yaitu menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkannya dengan undang-undang lain. Selain itu juga menggunakan metode analisis konstruksi hukum analogi yaitu suatu peristiwa khusus dijadikan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang dan disimpulkan dari ketentuan yang umum itu peristiwa yang khusus, untuk menganalisis permasalahan kedua.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia   Nomor   42   Tahun   2007   tentang Waralaba  dan Peraturan  Menteri  Perdagangan Republik Indonesia Nomor:12/MDag/Per/3/2006  Tentang Ketentuan  Dan  Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba mewajibkan pihak-pihak yang terlibat dalam sistem waralaba  melakukan perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba merupakan salah satu   aspek perlindungan hukum kepada para pihak dari� perbuatan merugikan   pihak lain, hal  ini   dikarenakan perjanjian tersebut dapat menjadi dasar hukum yang   kuat untuk   menegakkan perlindungan hokum bagi para pihak yang terlibat  dalam sistem  waralabaBilamana salah satu pihak melanggar isi perjanjian, maka pihak lain dapat menuntut pihak yang melanggar tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Secara   garis   besar,   pada   umumnya perjanjian waralaba memuat sebagai berikut :

a.       Hak yang diberikan oleh franchisor kepada franchisee. Hak yang diberikan� meliputi antara lain penggunaan metode  atau  resep yang khusus penggunaan merek atau nama dagang, jangka waktu hak tersebut dan perpanjangannya, serta wilayah kegiatan dengan yang lain sehubungan dengan pembelian kebutuhan operasi bila ada.

b.      Kewajiban  dari franchisor sebagai  imbalan atas hak yang diterima dan kegiatan �yang dilakukan oleh franchisor pada saat franchisor memulai usaha, maupun �selama menjadi anggota dari sistem waralaba.

c.       Hal yang berkaitan dengan kasus penjualan hak franchisee kepada pihak lain. Apabila Franchiseetidak  ingin  meneruskan  sendiri usaha tersebut dan ingin menjualnya kepada pihak   lain,   maka   suatu   tata   cara   perlu disepakati sebelumnya.

d.      Hal   yang   berkaitan   dengan   pengakhiran perjanjian  kerjasama   dari   masing-masing pihak.

 

Konsep� HKI Terkait� Royalti dalam Usaha Waralaba

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, yaitu:

a.       Waralaba adalah hak khusus yang merupakan suatu Hak Kekayaan Intelektual yang dimiliki oleh seseorang dan atau badan hukum tertentu;

b.      Waralaba diselenggarakan atas dasar perjanjian.

Abdurrachman dalam Ensiklopedia ekonomi keuangan perdagangan memberikan pengertian franchise sebagai berikut (Islamiyah, 2018):

�Franchise adalah suatu persetujuan atau perjanjian antara leveransir dan pedagang eceran atau pedagang besar yang menyatakan bahwa yang tersebut pertama itu memberi kepada yang tersebut terakhir suatu hak untuk memperdagangkan produknya, dengan syarat-syarat yang disetujui kedua belah pihak�.

Henry Campbell Black memberikan beberapa pengertian mengenai franchise yaitu:

a. Franchise is a special privilege to do certain things conferred by government on individual or corporation, and which does not belong to citizens generally of common right.

b. Franchise is privilege or sold, such as to use a name or to sell a product or service. The right given by a manufacturer or supplier to a retailer to use his products and name on terms and conditions mutually agreed upon.

c. Franchise is a license from the owner of a trade or trade name permitting another to sell a product or service under that name or mark.

Franchise pada dasarnya mengandung elemen-elemen pokok sebagai berikut:

a. Franchisor yaitu pihak pemilik atau produsen dari barang atau jasa yang telah memiliki merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak ekslusif tertentu untuk pemasaran dari barang atau jasa itu.

b. Franchise yaitu pihak yang menerima hak eksklusif itu dari franchisor.

c. Adanya penyerahan hak-hak secara eksklusif (dalam praktik meliputi berbagai macam hak milik intelektual/hak milik perindustrian) dari franchisor kepada franchise.

d. Adanya penetapan wilayah tertentu, franchise area di mana franchise diberikan hak untuk beroperasi di wilayah tertentu. Contoh: hanya diperbolehkan untuk beroperasi di Pulau Jawa.

e. Adanya imbal - prestasi dari franchise kepada franchisor yang berupa Initial Fee dan Royalties serta biaya-biaya lain yang disepakati oleh kedua belah pihak.

f. Adanya standar mutu yang ditetapkan oleh franchisor bagi franchise, serta supervisi secara berkala dalam rangka mempertahankan mutu.

g. Adanya pelatihan awal, pelatihan yang berkesinambungan, yang diselenggarakan oleh franchisor guna peningkatan keterampilan.

 

Melihat dari segi ekonomi maka franchise merupakan hak yang secara khusus diberikan kepada seseorang atau kelompok dengan dapat memproduksi atau merakit, menjual, memasarkan suatu produk atau jasa.� Menurut Amir Karamoy menyatakan bahwa secara hukum waralaba berarti persetujuan legal atas pemberian hak atau keistimewaan untuk memasarkan suatu produk atau jasa dari pemilik (waralaba) kepada pihak lain (terwaralaba), yang diatur dalam suatu aturan permainan tertentu.

Hukum Waralaba adalah perjanjian legal antara dua pihak dalam bekerjasama memproduksi, merakit, menjual, memasarkan suatu produk jasa (Hanim, 2022). Dari segi hukum Waralaba melibatkan bidang-bidang hukum perjanjian, khususnya perjanjian tentang pemberian lisensi, hukum tentang nama perniagaan, merek, paten, model dan desain[1] Bidang� hukum tersebut dapat dikelompokkan dalam bidang hukum perjanjian dan bidang hukum tentang hak milik intelektual (intellectual property right).

Secara yuridis HaKI dalam bisnis waralaba juga sangat dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual, di antara lain :

1.       Hak Merek

2.      Hak Paten

3.      Hak Cipta

 

Bisnis waralaba, penerima waralaba memiliki hak atas hak kekayaan intelektual yaitu penggunaan merek dagang, merek jasa, hak cipta atas logo, desain industri, paten maupun rahasia dagang, sedangkan pemberi franchise (waralaba) mendapatkan hak royalti atas penggunaan hak atas kekayaan intelektual dan operasional oleh penerima waralaba.

Hak pemberi waralaba (franchisor)

1)         Melakukan pengawasan jalannya pelaksanaan waralaba.

2)        Memperoleh laporan-laporan secara berkala atas jalannya kegiatan usaha penerima waralaba.

3)        Mewajibkan penerima waralaba untuk menjaga kerahasiaan hak atas kekayaan intelektual serta penemuan atau ciri khas usaha, misalnya sistem manajemen dan cara penjualan atau penataan atau ciri distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi objek waralaba.

4)        Mewajibkan agar penerima waralaba tidak melakukan kegiatan yang sejenis, serupa, ataupun yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha yang diwaralabakan.

5)        Menerima pembayaran royalti dalam bentuk, jenis, dan jumlah yang dianggap layak olehnya.

6)        Atas pengakhiran waralaba, meminta kepada penerima waralaba untuk mengembalikan seluruh data, informasi, maupun keterangan yang diperoleh penerima waralaba selama pelaksanaan waralaba.

Sistem Franchise juga dapat dipahami sebagai suatu perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen karena Franchisor dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada Franchisee untuk melakukan usaha pendistribusian barang atau jasa di bawah nama identitas Franchisor dalam wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara yang ditetapkan oleh Franchisor. Franchisor memberikan bantuan terhadap Franchisee, sebagai imbalannya Franchisee membayar jumlah uang berupa initial fee dan royalty. Oleh karena itu adalah tepat apabila dalam regulasi di Indonesia mengatakan bahwa Franchise atau waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian Franchise.

Bentuk� hak yang didapatkan pemberi waralaba merupakan sebuah kewajiban dari penerima waralaba , yaitu (OKTAVI, 2013) :

a.      front Initial or �up� fee

Yaitu sejumlah uang yang harus diberikan kepada pemberi waralaba sebagai bentuk terjadinya atau lahirnya hubungan antara para pihak (Cq. pemberi waralaba dan penerima waralaba).

b.      Continuing Royalties.

Yaitu kewajiban penerima waralaba membayar jasa selama perjanjian berlangsung, yang mana ketentuan semacam ini ditentukan dalam perjanjian waralaba dengan persentase meskipun demikian belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur perhitungannya, cara penyerahan dan penentuan besarnya persentase, pengaturan terhadap royalty ini dimaksudkan pula agar adanya kontrol terhadap devisa Negara.

c.       Other Fees.

Selain fee-fee yang harus dibayarkan tersebut diatas kepada pemberi waralaba, maka penerima waralaba biasanya membayar fee-fee lainnya atas biaya � biaya antara lain seperti training fee, development or option fee, tambahan uang sewa, komisi atau pengurangan dari supplier kepada penerima waralaba, hubungan atas keterlambatan pembayaran, biaya audit.

 

Konsep Aturan Pemungutan Pajak Royalti Terhadap Usaha Waralaba

Pemanfaatan bisnis waralaba tentu ada sejumlah imbalan berupa uang yang harus dibayar kepada pihak asing maupun pihak dalam negeri (Nasrullah, 2021). Imbalan yang terkait dalam usaha waralaba ini bisa bermacam-macam jenisnya, antara lain royalti, imbalan jasa teknik, dan penghasilan dari usaha keseluruhannya merupakan objek pengenaan Pajak Penghasilan. Namun demikian, tidak mudah untuk menentukan royalti, jasa teknik dan penghasilan dari usaha sebagai objek PPh, bahkan sering terjadi sengketa antara wajib pajak dengan fiskus dalam menentukan royalty (ADITYA, 2011).

Perjanjian waralaba sebagai suatu perjanjian perdata yang mengandung aspek perniagaan maka akan terikat oleh fiscal atau pajak.� Bila merujuk pada pengenaan pajak penghasilan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan dalam pasal 23,� bila melihat pendapat Ester Oktaviani pajak dalam negeri seperti royalti dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan, hal ini mengandung pengertian bahwa royalti dari penjualan bruto (gross sales) yang dibayarkan dipotong langsung oleh penerima waralaba sebagai pengusaha kena pajak sebesar 15% dari prosentase royalti atau penerima waralaba sebagai wajib pajak dalam negeri wajib memotong PPh sebesar 15 % dari jumlah bruto atas pembayaran royalti kepada pemberi waralaba yang merupakan wajib pajak dalam negeri. Adapun dalam pasal 26 nya, terhadap wajib pajak luar negeri dipotong pajak sebesar 20 % dari jumlah bruto pihak yang wajib membayarkannya (royalti) atau penerima waralaba sebagai wajib pajak dalam negeri wajib memotong PPh sebesar 20 % dari pembayaran bruto royalti dalam hal pemberi waralabanya dari luar negeri.

Setelah dijabarkan beberapa jenis pajak yang dikenakan pada usaha waralaba (franchise), maka berikut pengenaan tarif pajak dalam usaha waralaba [2].

1.       Pasal 17 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015, Untuk Pajak Penghasilan dibedakan menjadi beberapa tarif yaitu[3]:

a.       Pajak Penghasilan pasal 21 (PPh 21), penerima penghasilan yang memiliki NPWP:

1) WP dengan penghasilan tahunan sampai dengan Rp 50 juta adalah 5%

2) WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 50 juta - Rp 250 juta adalah 15%

3) WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 250 juta - Rp 500 juta adalah 25%

4) WP dengan penghasilan tahunan di atas Rp 500 juta adalah 30%

5) Untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, dikenai tarif pph 21 sebesar 20% lebih tinggi dari mereka yang memiliki NPWP.

113 PasaL 17 ayat (1) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2015.

Penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP:

1)      Bagi penerima penghasilan yang tidak memiliki NPWP, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif lebih tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang memiliki NPWP.

2)     Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar 120% dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dalam hal yang bersangkutan memiliki NPWP.

3)     Pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final.

4)     �Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala sebagai penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP.

b.      Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh 22):

1)      Atas impor :

a)      yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor

b)     non-API = 7,5% x nilai impor

c)      yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.

2)     Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)

3)     Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:

Pajak Penghasilan 22

a)      Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)

b)     Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)

c)      Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)

d)     �Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)

4)     Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:

Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen bersifat tidak final.

5)      Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)

6)     Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API = 0,5% x nilai impor.

7)      Atas penjualan

a)      Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-

b)     Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-

c)      Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.

d)     Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.

e)      Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.

8)     Untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22.

c.       Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23)

Tarif yang dikenakan nilai dasar pengenaan pajak atau jumlah bruto dari penghasilan. Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan, yaitu 15 % dan 2 %, tergantung dari objeknya.

1)      Tarif 15 % dari jumlah bruto atas:

a)      Deviden, kecuali pembagian deviden kepada orang pribadi dikenakan final, bunga, dan royalti.

b)     Hadiah dan penghargaan selain yang dipotong dari PPh 21.

2)     Tarif 2 % dari jumlah bruto atas:

a)      Sewa dan penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan harta kecuali sewa tanah atau bangunan.

b)     Imbalan teknik, jasa manejemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan.

c)      Imbalan jasa lainnya yang diuraikan dalam Peraturan Menteri Keuangan No 141 PMK.03/2016. d. Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh 25)

Terdapat 2 jenis pembayaran angsuran Pajak Penghasian Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:

1)      Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu (WP-OPPT), yaitu yang melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa dengan satu atau lebih tempat usaha.

PPh 25 bagi OPPT= 0,75% x omset bulanan tiap masing-masing tempat usaha.

2)     Wajib pajak orang pribadi selain pengusaha tertentu (WP-OPPT), yaitu pekerja bebas atau karyawan yang tidak memiliki usaha sendiri.

PPh 25 bagi OPPT= Penghasilan Kena Pajak x tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh (12 bulan). Wajib pajak badan, yaitu: Penghasilan Kena Pajak x 25% .

2.      Pasal 7 UU PPn Nomor 42 Tahun 2009� Adapun tarif pajak yang dikenakan pada Pajak Pertambahan Nilai adalah:

a.       Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 10% (sepuluh persen).

b.      Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:

1)      Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud

2)     Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

3)     �Ekspor Jasa Kena Pajak

c.       Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar 15% (lima belas persen) sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.

 

KESIMPULAN

Perlindungan HKI dalam sistem bisnis waralaba ialah dengan adanya royalty atas penerima lisensi kepada pemberi lisensi, bentuk dalam perlindungan nya meliputi hak merek, hak paten dan hak cipta, pengenaan pajak waralaba atas royalty� ialah menggunakan sistem pengenaan pajak terhadap badan hukum Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Perpajakan yang lebih spesifiknya tertera di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Dalam UU ini memuat ketentuan dan besar tarif yang dikenakan pada badan hukum, yakni: 25% untuk wajib pajak badan, 20% untuk wajib pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor dalam perdagangan di bursa efek Indonesia, 1% untuk wajib pajak badan yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000.

 

BIBLIOGRAFI

 

ADITYA, DICKY. (2011). PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN TERHADAP ROYALTI FILM IMPOR. UNIVERSITAS AIRLANGGA.

Akbar, Yogi Muhamad, Ismanto, Gandung, & Cadith, Juliannes. (2015). PENGAWASAN PENYELENGGARAAN WARALABA OLEH BADAN PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU SATU PINTU (BPMPPTSP) KABUPATEN PANDEGLANG (Studi Pada Jenis Waralaba Minimarket Indomart dan Alfamart). Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Hanim, Lathifah. (2022). Perlindungan hukum haki dalam perjanjian waralaba di indonesia. Jurnal Hukum, 26(2), 571�589.

Islamiyah, Wahyuni. (2018). Studi Eksploratif tentang Faktor-Faktor Pendukung Pengembangan Kawasan Wisata Religi Makam KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Kabupaten Jombang. Universitas Airlangga.

Khairiyati, Fithry. (2018). KAJIAN TEORISTIS PERLINDUNGAN HUKUM PERJANJIAN WARALABA DIKAITKAN DENGAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK (Studi Kasus Di CV Rocket Fried Chicken). Rechtsregel: Jurnal Ilmu Hukum, 1(1).

Kuswiratmo, Bonifasius Aji, & SH, M. H. (2016). Memulai Usaha Itu Gampang!: Langkah-Langkah Hukum Mendirikan Badan Usaha Hingga Mengelolanya. VisiMedia.

Mahardhita, Yoga, & Sukro, Ahmad Yakub. (2018). Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Melalui Mekanisme �Cross Border Measure.� Qistie, 11(1).

Meylen, Maringka. (2013). ANALISIS YURIDIS TENTANG PERLINDUNGAN HAKI DALAM PERJANJIAN FRANCHISING DI INDONESIA. Jurnal Hukum Unsrat, 1(6), 77�89.

Nasrullah, Nasrullah. (2021). Royalti Penggunaan Merek dalam Sistem Franchise di Indonesia menurut Hukum Islam. Al-Adl: Jurnal Hukum, 13(2), 430�458.

Nazhilul Iman, Abid. (2014). Tanggung jawab franchisor Kebab Turki Baba Rafi terhadap franchisee dalam pembinaan usaha perspektif peraturan pemerintah no. 42 tahun 2007 tentang waralaba dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Nuratika, Nuratika. (2015). ANALISIS HUKUM TERHADAP PERJANJIAN WARALABA/FRANCHISE (Studi Kasus Yayasan Rewana Education Branch Bulukumba di Kabupaten Bulukumba). UIN Alauddin Makassar.

OKTAVI, ESTHAR. (2013). PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENERIMA WARALABA DALAM PERJANJIAN WARALABA DI INDONESIA. UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA.

Safitri, Eliani. (2018). PERAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN WARALABA TERHADAP PELAKU USAHA GUNA MENJAMIN PERLINDUNGAN HUKUM. Fakultas Hukum UNISSULA.

Saraka, Saraka. (2020). Kewirausahaan Pendidikan Bahasa Inggris Berbasis Pendidikan Luar Sekolah. Relasi Inti Media.

Sukarmi, Sukarmi, & Kowagam, Howard. (2010). HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HaKI) SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN PERGURUAN TINGGI. Jurnal Hukum, 15(1).

 



[1] ibid