KEBENARAN, KEYAKINAN DAN MORALITAS MANUSIA
RASIONAL
Muslikh
STKIP NU Kabupaten Tegal,
Tegal, Indonesia
|
Abstract |
|
Received: |
12-01-2022 |
The act of radicalism and terrorism
that justifies any means is an act of immorality-irrasinality that is not
based on facts and truth. Ideally, what a person does should be based on a
truth as a result of reasoning and empirical experience in the field. If the
truth is found, them the skepticism will disappear, and a belief will be
born. With his belief rationally, people should take actions in the corridor
of �right, good and beautiful�, so that they can live harmoniously in an
order of community life. Thus, a rational human being is a person who is able
to harmonize thoughts, feelings and actions that produce truth, beliefs and
attitudes as a whole person. It is a fatal mistake if the actions
strengthened by beliefs that turn into �doctrine� are not based on fact and
truth, so that is has implication for immoral actions that are contrary to
humen values. The purpose of this study is to explain the contruction of
rational human thinking whose thoughts and actions describe a moral human
being. The metod used in this research is library with reference studies
related to the theme of the problem. The results of this study are the
characteristics of rational humans whose actions are based on facts and
truts, which are in harmony whit ethical and aesthetic values. The
contruction of scientific thinking is important because it has very broad
implications for human life in society, nation and state as well as in the
global order of life. |
Accepted: |
12-01-2022 |
|
Published: |
20-01-2022 |
|
Keywords: |
truth;
belief; morality and rasional man |
|
|
Abstrak |
|
Kata kunci: |
kebenaran; keyakinan; moralitas;
dan manusia rasional |
Tindakan
radikalisme dan terorisme yang menghalalkan segala cara adalah suatu tindakan
immoralitas-irrasional yang tidak berdasarkan fakta dan kebenaran. Idealnya
apa yang dilakukan oleh seseorang seharusnya berdasarkan suatu kebenaran
hasil dari pertimbangan akal dan pengalaman empirisnya di lapangan. Jika
kebenaran sudah didapatkan, maka skeptisisme akan hilang, dan lahirlah suatu
keyakinan. Dengan keyakinannya secara rasional seharusnya orang melakukan
suatu tindakan dalam koridor �benar, baik dan indah�, sehingga ia dapat hidup
secara harmonis dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat. Dengan demikian
sejatinya� manusia rasional adalah� pribadi yang mampu menselaraskan antara pikiran,
perasaan dan tindakan yang menghasilkan kebenaran, keyakinan dan sikap sebagi
pribadi yang utuh. Suatu kesalahan fatal jika tindakan yang dikuatkan oleh
keyakinan yang berubah menjadi �doktrin� tidak berdasarkan pada fakta dan
kebenaran, sehingga berimplikasi pada tindakan immoralitas yang bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan
konstruksi berfikir manusia rasional yang pikiran dan perbuatannya
menggambarkan manusia yang bermoral. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah library research dengan kajian-kajian referensi yang berkaitan
dengan tema permasalahan. Hasil dari penelitian ini adalah karakteristik
manusia rasional yang tindakannya berdasarkan fakta dan� kebenaran, yang selaras dengan nilai etika
dan estetika. Konstruksi berpikir ilmiah ini penting karena berimplikasi
sangat luas terhadap kehidupan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara serta dalam tatanan kehidupan global.�� |
Corresponding Author: Muslikh
E-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN
Gerakan
�radikalisme dan terorisme� selalu konfrontatatif terhadap orang-orang yang
dianggapnya tidak satu idiologi, tidak sefaham, tidak satu kelompok bahkan
tidak dalam satu penafsiran, lebih-lebih dianggap kafir yang tindakan dapat
mengancam NKRI. Fokus penelitian ini adalah membahas sikap manusia irrasional
(oknum) yang melakukan tindakan radikalisme dan terorisme yang tidak saja
mengancam kehidupan manusia secara indvidu, tapi juga secara sosial mengancam
kehidupan manusia dalam tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
bahkan dalam komunitas global, sehingga fenomena ini perlu dikaji secara
akademik untuk kepentingan memberikan edukasi kepada masyarakat.
Tindakan
menghalalkan segala cara yang dilakukan oleh kelompok (oknum) radikalisme dan
terorisme seperti dengan pola bom bunuh diri yang terjadi selama ini baik di
dalam negeri maupun di luar negeri dilakukan oleh oknum yang tidak
bertanggungjawab yang didasari keyakinan-doktrin menganggap dirinya sebagai
mujahidin yang suci, jika mati menjadi syahid dan berarti hidup dalam pelaminan
sebagai pengantin baru yang mendapatkan bidadari cantik dari sorga.
Doktrin-keyakinan ini absurd muncul secara tiba-tiba, pasti ada proses yang
mendisain mengapa seseorang sampai berkeyakinan kuat seperti ini, sehingga
melakukan tindakan immoralitas. Dilihat dari segi idiologi, bisa saja pelaku
adalah korban atas pemahaman dan keyakinan yang salah, tapi karena ini sifatnya
doktrin sehingga menurutnya apa yang diputuskan dan dilakukannya sebagai� sebuah kebenaran, padahal tindakan ini tidak
akan bisa diterima dengan ukuran apapun, baik oleh pertimbangan akal-logika,
ilmu pengetahuan, sosial budaya, kemanusiaan, tata negara bahkan agama apapun.
Untuk itu upaya pencegahan dan�
penanganan tindakan radikalisme dan�
terorisme harus dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai
unsur terkait, termasuk� kajian akademik
yang dapat memberikan edukasi kepada masyarakat.
Dalam
konteks pemahaman ke-agama-an individu, maka tindakan radikalisme dan terorisme
yang mengatasnamakan agama adalah merupakan imbas atas pemahaman yang salah
terhadap kebenaran Tuhan (agama) yang bersifat absolute,� sehingga otoritasi individu dalam menafsirkan
ajaran�ajaran agama bahwa apa yang menjadi keputusan (justifikasi)-eksekusi merupakan sebuah kebenaran yang menghilangkan
keragu-raguan (skeptic) dirinya dan
bertindak sekalipun menyalahi norma-norma dan nilai-nilai kemanusiaan, agama
dan hukum pemerintah, diyakini sebagai sebuah kebenaran agama, padahal
merupakan penafsiran-subjektifitas individu (apologi) atas� kebenaran
agama yang perlu dipertanggunjawabkan kebenarannya secara ilmiah di hadapan
publik.�
Dengan
latarbelakang pemikiran ini, maka tema tentang �Kebenaran, Kayakinan dan
Moralitas Manusia Rasional� ini menjadi penting dibahas, karena tindakan
irrasional seperti �radikalisme dan terorisme� sudah mengacam generasi
muda� terutama dunia akademik (kampus),
sehingga pentingnya memberikan pemahaman dan edukasi kepada masyarakat bahwa
perilaku individu yang �benar-baik dan indah� adalah sangat fundamental dan
penting, karena perilaku individu� sangat
dipengaruhi oleh konstruksi berpikir dirinya dan orang lain yang� berdampak baik bagi dirinya, orang lain
bahkan orang banyak.�
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bahwa konstruksi berfikir� manusia rasional adalah keselarasan antara
pikiran, perasaan dan sikap, yang menghasilkan kebenaran, sebagai dasar
keyakinan yang diimplementasikan dalam perilaku yang �baik dan indah�
sebagai� wujud eksistensi dirinya.�
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini bersifat kualitatif-deskriptif, yang menjelaskan fenomena sosial sebagai
obyek kajian yaitu kebenaran sebagai tindakan epistemologis hasil dari proses
pencarian manusia terhadap fenomena yang dihadapi yang berupa pengetahun-ilmu
pengetahuan. Keyakinan sebagai proses epistemology menghilangkan keragu-raguan
(skeptic) dan tindakan yang dinilai
sebagai moralitas yang secara aksiologis ending dari eksistensi manusia yaitu
pribadi yang bermoral. Sedangkan� target
atau subjek penelitian dalam penelitian ini adalah konstruksi berpikir ilmiah
mencari kebenaran yang menjadi dasar keyakinan bagi individu dan dilanjutkan
dengan perilaku orang yang berdasarkan kebenaran dan keyakinan, sehingga
menghilangkan keragu-raguan (skeptis)
dan yakin apa yang dilakukannya adalah suatu kebenaran, yang diikuti dengan
perilaku yang baik dan indah.
Prosedur
yang dilakukan dalam penelitian ini dengan mengidentifikasi data-data yang
memiliki korelasi dengan tema penelitian baik berupa buku-buku maupun artikel
atau jurnal. Selanjutnya� mengkolersikan
data yang satu dengan data yang lain, sehingga dapat memudahkan bagi penulis
untuk menganalisis. Hasil penelitian kualitatif ini lebih menekankan makna
daripada generalisasi (Sugiyono, 2019).
Sedangkan analisis yang digunakan adalah Deskriptif Analisis Kritis, bertujuan
untuk mengkaji gagasan primer mengenai suatu �ruang lingkup permasalahan� yang
diperkaya oleh gagasan sekunder yang relevan yaitu dengan mendeskripsikan,
membahas dan mengkritisi gagasan primer yang �dikonfrontasikan� dengan gagasan
primer yang lain (Sumantri, 1998).�
HASIL DAN PEMBAHASAN
Istilah �Kebenaran�, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI:
167), berasal dari kata �benar� yang berati �sesuai sebagaimana adanya
(seharusnya)�, �tidak berat sebelah�, �lurus (hati)�, �dapat dipercaya (cocok
dengan keadaan yang sesungguhnya)�.�
Sedangkan menurut AMW
Pranarka dalam
�Epistemologi Dasar, Suatu Pengatar� mendefinisikan Kebenaran sebagai suatu
keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau� keadaan yang sesungguhnya); sesuatu yang
benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian� halnya dan sebagainya); kejujuran; kelurusan
hati.� Selanjutnya ia membedakan
kebenaran dalam tiga jenis, yaitu : (1) kebenaran epistemologikal; (2)
kebenaran ontological; dan (3) kebenaran semantikal. Kebenaran epistemologikal
dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia. Kebenaran ontological yaitu kebenaran
sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada atau diadakan.
Sedangkan kebenaran semantikal adalah kebenaran yang melekat pada tutur kata
dan bahasa, yang juga disebut sebagai kebenaran moral, karena tutur kata� dan bahasa yang menjadikan manusia dikatakan
bermoral tergantung dari tutur kata dan bahasa apakah sesuai dengan faktanya
atau tidak, hal ini menjadi penilaian apakah manusia sadar atau tidak bahwa
tutur kata dan bahasa yang diungkapkan merupakan suatu kebenaran atau tidak (Pranarka, 1987).����� �
Istilah �Keyakinan�, berasal dari kata �yakin� yang berarti
percaya (tahu, mengerti) sungguh-sungguh. Dari pengertian itu, maka istilah
keyakinan dapat diartikan sebagai kepercayaan yang sungguh-sungguh. Juga
diartikan sebagai bagian dari agama atau religi yang berwujud konsep yang
menjadi keyakinan (kepercayaan) para penganutnya. (KBBI : 1566).��
Istilah �Moralitas�, berasal dari kata Moral yang berarti ajaran
baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan
sebagainya; akhlak; budi pekerti; susila. Sedangkan moralitas berarti sopan
santun; segala sesuatu yang berhubungan dengan etika atau adat sopan santun.
(KBBI : 929). Moral berasal dari bahasa Latin, yaitu moralis; dari mos, moris
yang berate adat istiadat atau kebiasaan atau cara tingkah laku. Dari
pengertian ini kemudian moral menggambarkan : (1) bersangkutan dengan kegiatan
manusia yang dipandang baik-buruk, benar-salah; (2) menyesuaikan dengan
kaidah-kaidah yang diterima tentang apa yang dipandang baik (tindakan yang
benar, adil, layak); (3) memiliki kapasitas untuk diarahkan oleh (dipengaruhi
oleh) suatu kesadaran� benar atau salah-
dan (4) menyangkut sikap seseorang dalam hubugannya dengan orang lain (Sobur,
2017).��������
Manusia Rasional adalah kata majemuk yang berasal dari kata
�Manusia� yaitu makhluk berakal budi (mampu mengusai makhluk lain); insan.
(KBBI : 877), dan kata �Rasional� yang berati menurut pikiran dan pertimbangan
yang logis; hal dan keadaan rasional (KBBI : 1146). Sedangkan definisi manusia
menurut Aristoteles adalah �man as the animal that reason� atau �Al
Insan Hayawanun Nathiqun� yang berarti manusia adalah hewan yang berfikir (Anshari, 1987). Dengan demikian, maka manusia rasional diartikan sebagai makhluk
yang berakal budi (insan) yang melakukan tindakan berdasarkan pertimbangan yang
logis (akal). Jika merujuk pada pendapat Aristoteles tersebut, maka jika
manusia melakukan tindakan tidak berdasarkan akalnya, atau sudah kehilangan
akalnya, artinya tindakannya sudah keluar dari norna dan nilai sebagai manusia
rasional, maka tidak ada bedanya dengan hewan, bahkan Al Qur�an menyebutnya
sebagai �lebih sesat dari hewan ternak� (Al Qur�an, Al �Araf : 179).����������
Berdasarkan penjelasan istilah-istilah di atas, maka secara
epistemology, idiologi yang didasarkan atas doktrin atau keyakinan (�agama�)
seseorang adalah berdasarkan pada pemahaman seseorang atas keyakinan tersebut.
Pemahaman seseorang berarti merujuk pada pengetahuan orang itu sendiri. Secara
esensial terdapat dua kebenaran, yaitu kebenaran yang mutlak-absolut dan
kebenaran yang bersifat subjektif-relative. Kebenaran mutlak adalah kebenaran
yang datangnya dari Tuhan, bersifat mutlak dan berlaku secara universal.
Sedangkan kebenaran subjektif adalah kemampuan daya tangkap seseorang atas
kebenaran Tuhan yang bersifat mutlak, kebenaran ini bersifat subjektif atau
relative, sehingga kebenaran relative tiap orang bisa berbeda-beda tergantung
dari kemampuan (pengetahuan) orang menangkap kebenaran Tuhan itu sendiri yang
diyakininya sebagai sebuah kebenaran. Kebenaran relative inilah yang
menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat antar manusia dalam menafsirkan
fenomena sekalipun dengan sumber rujukan yang sama, apalagi dengan sumber yang
berbeda. Di sinilah letaknya bagaimana kita sebagai manusia berupaya untuk
mencapai kebenaran dan perlunya sikap tasamuh (toleransi) dan I�tidal
(berbuat adil) atas pendapat orang yang berbeda, dan pendapat yang berbeda
tersebut menjadi sah asal memenuhi persyaratan ilmiah sebagai sebuah
pengetahuan, sehingga perbedaan pendapat ini tidak menjadi sumber pertikaian
atau malapetaka, karena sikap otoritasi pendapat yang menurutnya bahwa
pendapatnyalah yang paling benar. Selain itu juga diperlukan sikap tawashuth
(sikap moderat) dan tawazun (keseimbangan hidup
material/fisik-spiritual/metafisik, dunia-ahkhirat, keseimbangan hubungan
manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhannya) (Aziz, DY, Aceng, & Dkk, 2015).�����
Selanjutnya jika kita kaji konflik sosial yang terjadi di tanah
air selama ini, lebih disebabkan karena perbedaan etnis dan keagamaan,
kesalahan manajemen dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional.
Yang paling ironis, agama yang seharusnya menjadi perekat sosial (societal glue), justru terjebak dalam
berbagai konflik. Padahal sejatinya agaman apapun, mempunyai misi suci dan
agung, yakni menciptakan kedamaian universal. Agama dalam konteks mikro,
diperankan secara positif-konstruktif dalam mempertahankan dan mengembangkan
keutuhan dan kedaulatan bangsa Indonesia yang diindikasikan dengan nilai-nilai
mulitkultural. Dalam upaya meminimalisir konflik dan peningkatan kualitas
kehidupan bersama,� agar tidak terjadi
sikap fanatik, feodalis dan fundamentalis yang lebih disebabkan karena: (1)
Cara beragama masyarakat yang masih memiliki pemahaman dangkal-sempit,
dipandang mempunyai nilai otoritatif dan kemutlakan dalam ber-agama, dalam
istilah psikologi disebut dengan gaya hidup keagamaan otoritatif (religion ofauthority); (2) Dengan sikap
keber-agama-an yang berorientasi lokal-feodalistik seperti di atas, maka agama
mudah dimanfaatkan untuk mem-blow up
isu-isu di luar wilayah keagamaan yang tengah mengemuka, seperti kesenjangan
atau fragmentasi sosial, yang menyebabkan gagalnya suatu penghayatan agama yang
esensial. Tindakan radikalisme dan terorisme terjadi, karena akibat manipulasi
simbol-simbol agama yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu (oknum) yang hanya
untuk kepentingan sesaat. Padahal seharusnya agama berperan sebagai perekat
dalam menata tatanan sosial yang damai, humanis dan bermartabat (Idris, 2014).
Dengan pemahaman ini maka tidak bisa dikatakan bahwa terorisme
atau radikalisme identik dengan agama tertentu, pelaku teror atau radikalis
adalah oknum, tidak ada kaitannya dengan agama. Secara epistemology ilmu
pengetahuan yang ditemukan oleh manusia bertujuan untuk mengungkap suatu fakta
kebenaran dan merupakan jawaban atas problem yang dihadapi manusia, sehingga
Ilmu Pengetahuan didefinisikan sebagai usaha pemahaman manusia yang disusun
dalam suatu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan
hukum-hukum tentang hal-ihwal yang diselidiki (alam, manusia dan agama) sejauh
yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu melalui penginderaan manusia,
yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimen (Anshari, 1987).
Ilmu Pengetahuan
sebenarnya ditemukan oleh manusia secara historis karena manusia menghadapi
suatu persoalan dalam kehidupannya dan ilmu pengetahuan adalah merupakan
salah� satu jawabannya. Ilmu Pengetahuan
diperlukan manusia agar tetap adanya harmonisasi antara manusia, alam dan Tuhan
dalam satu kesatuan segitiga hubungan, baik hubungan manusia dengan manusia
(interaksi), hubungan manusia dengan alam agar ekosistem tetap berjalan dan
hubungan manusia dengan Tuhan dalam kerangka beribadah, yaitu dalam posisi
manusia sebagai pengabdi (�abdun) maupun manusia sebagai khalifah.
Dengan demikian secara umum ilmu pengetahuan memiliki fungsi diantaranya adalah
: 1) Fungsi Deskriptif : menggambarkan, melukiskan dan memaparkan suatu
obyek atau masalah sehingga mudah dipelajari oleh peneliti; 2) Fungsi
Pengembangan (Development) : melanjutkan hasil penemuan yang lalu (discovery)
dan menemukan hasil ilmu pengetahuan yang baru (sebagai� inovasi); 3) Fungsi Prediksi :
menganalisa kejadian-kejadian yang mungkin terjadi sehingga manusia dapat
mengantisipasi dan mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha
menghadapinya; dan 4) Fungsi Kontrol : berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa
yang tidak dikehendaki (Anshari, 1987).
���������� Tindakan radikalisme dan terorisme
yang didasarkan atas pengetahuan dan keyakinan seseorang (oknum) yang mendorong
melakukan tindakan radikal dan teror. Pengetahuan seseorang dalam kajian
keilmuan dapat dilihat dari tiga landasan keilmuan, yaitu apek Ontologi,
Epistemologi dan Aksiologi. Ontology berkaitan dengan kajian terhadap yang
�ada� yaitu obyek material kajian ilmu itu sendiri yang berupa fenomena tentang
alam, manusia dan Tuhan. Karena setiap ilmuwan mengkaji obyek berbeda atau
obyek yang sama tapi dengan sisi yang berbeda sesuai dengan disiplin ilmunya
yang hasilnya ditemukan hal yang baru, sehingga akan melahirkan disiplin ilmu
baru. Epistemologi kajian pengetahuan berkaitan dengan sumber kebenaran ilmu,
cara memperoleh pengetahuan, pendekatan dan metode yang digunakan, yang
menghasilkan kebenaran suatu ilmu. Sedangkan Aksiologi berkaitan dengan nilai
fungsi atau pemanfaatan dari ilmu pengetahuan itu sendiri yang dilakukan oleh
subjek yaitu orang yang memiliki ilmu pengetahuan.
Secara
epistemology ilmu pengetahuan, baik Natural Sciences (ilmu pengetahuan
alam), Social Sciences (Ilmu Pengetahuan Sosial) maupun Ilmu Pengetahuan
Humaniora bersifat bebas nilai, artinya dalam konteks kebenaran keilmuan, maka
ilmu itu tidak bisa dinilai jelek atau salah ketika ilmu itu diterapkan dalam
kehidupaan manusia, ilmu itu laksana pisau tajam yang ketika digunakan untuk
kepentingan manusia, tidak bisa kemudian kita menyematkan nilai atas
digunakannya pisau tadi. Tetapi secara pemanfaatan ilmu, maka ilmu pengetahuan
tidak bisa bebas nilai tergantung dari pengguna ilmu (ilmuwan atau praktisi),
sehingga dilihat dari sisi manusianya ilmu pengetahuan yang dikuasai oleh
manusia menjadi tidak bebas nilai.
Secara substansi ilmu pengetahuan sebagai suatu kebenaran dapat
dipahami dalam tiga teori yaitu (1) sesuatu dikatakan benar jika terdapat suatu
pernyataan yang sesuai dengan fakta di lapangan, yang disebut sebagai teori
Korespondensi; (Bakhtiar, 2012), (Anshari, 1987), (Sumantri, 1998), (Adib, 2011), �(Fautanu,
2012),� (Atmadja
& Gede, 2014), (Zaprulkhan,
2016), (Anas & Dkk, 2018), (Endraswara, 2012), dan (Latif, 2020). (2) Teori Koherensi atau Konsistensi,
yaitu suatu pernyataan yang saling berhubungan (koheren) antara putusan yang
baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah diketahui dan secara sepakat
telah dakui kebenarannya terlebih dahulu (Anshari, 1987), (Bakhtiar, 2012), (Sumantri, 1998), (Adib, 2011), (Fautanu, 2012), (Atmadja & Gede, 2014), (Zaprulkhan, 2016), (Anas & Dkk, 2018), (Endraswara, 2012), dan (Latif, 2020). �Dan (3) Teori
Pragmatis adalah benar tidaknya suatu ucapan atau pernyataan, dalil, teori
semata-mata tergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, pernyataan, dalil atau
teori bagi manusia yang diterapkan dalam penghidupannya. Menurut teori
ini,� suatu kebenaran dan suatu
pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan manusia (Sumantri, 1998), (Bakhtiar, 2012), (Anshari, 1987), (Adib, 2011), (Fautanu, 2012), (Atmadja & Gede, 2014), (Zaprulkhan, 2016), (Anas & Dkk, 2018),� dan (Latif, 2020).�
���������� Mendasari pada teori-teori tersebut
di atas, maka ilmu pengetahuan sebagai suatu kebenaran bagaikan pisau tajam
yang bermata dua, penilainya tergantung dari yang memakainya, jika pisau
digunakan untuk mengupas mangga, maka pisau itu suatu alat yang digunakan dan
beradampak positip, tapi jika sebaliknya digunakan untuk membunuh orang, maka
pisau itu suatu alat yang karenanya berdampak negativ. Sebenarnya kita tidak
bisa menilai atau menjustivikasi pisau sehingga menyalahkan atau menghukumi
pisau, karena pisau hanya sebagai� alat
bukti, yang disalahkan adalah orang yang menggunakan pisau tersebut.�
Jika seseorang yang
telah menemukan kebenaran yang berwujud pengetahuan, baik pengetahuan apriory
yang diupayakan melaui fungsi akal (aspek kognitif) dengan pendekatan/metode
deduktif, maupun� pengetahuan yang
bersifat aposteriory yang mendasari pada pengalaman empiris melalui
fungsi panca indera (aspek psikomotorik). Kedua jenis pengetahuan
tersebut secara epistemologis telah menghilangkan keragu-raguan (skeptic)
dan melahirkan suatu keyakinan. Keyakinan yang muncul sebagai hasil penemuan
atas kebenaran itu, maka akan melahirkan nilai-nilai moralitas dalam bentuk
perilaku yang baik dan indah sebagai hasil internalisasi yang menjadi suatu
pribadi atas kejujuran dan kematangan intelektual, sehingga seseorang yang
telah menemukan kebenaran konsekuensi loginya akan diiringi dengan nilai-nilai
moralitas yang baik dan indah sebagai satu kesatuan yang mengintegral, atau
dengan kata lain orang yang telah menemukan kebenaran seharusnya tidak
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran itu sendiri, misalnya
orang yang telah menemukan kebenaran agama seharusnya ia melakukan perbuatan
yang dilarang oleh agama itu sendiri seperti berbuat bohong, menipu, melakukan
teror, membunuh atau perbuatan lain yang sifatnya merugikan dirinya atau orang
lain.
������������� Dengan demikian tindakan radikalisme
dan terorisme dalam perspektif tiga landasan keilmuwan, yaitu landasan
ontology, maka tindakan tersebut telah menyalahi, karena manusia, alam dan
Tuhan sebagai obyek ilmu tidak dijadikan kajian eksplorasi sebagai wujud yang
terintegrasi/komprehensif. Secara epistemologi tindakan terorisme atau
radikalisme bertentangan secara keilmuan, karena subjektifitas-klaim kebenaran
dianggap sebagai kebenaran agama yang menjadi keyakinan-doktrin, padalahal apa
yang diyakini tidak sesuai dengan fakta dan kebenaran-nilai-nilai kebenaran
ilmu pengetahuan. Sedangkan secara aksiologi�
bertentangan dengan nilai-nilai moral kemanusiaan dan ajaran agama
apapun. Namun kenyataannya sebagian dari kita (oknum) yang beranggapan bahwa
pengetahuan yang didapatkannya itu menjadikan keyakinan membolehkan/
menghalalkan segala cara untuk melakukan tindakan di luar perikemanusiaan. Jika
demikian, maka sebenarnya ia telah melakukan kesalahan dalam memahami agama
yang diyakininya dan secara moral tindakan yang melawan hukum juga karena
didasari oleh rasa kebencian akut terhadap pihak yang tidak sepaham termasuk
pemerintahan yang syah yang dianggapnya sebagai thaghut, sehingga
kesalah pahaman dirinya-ketidaktahuan dirinya yang dianggapnya sebagai suatu
kebenaran-pengetahuan, tidak digunakan sebagai alat kontrol untuk mengendalikan
peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki tetapi justru digunakan untuk
mengeksekusi tindakan-tindakan yang tidak manusiawi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan tentang tema di
atas, maka dapat penulis simpulkan :
Pertama, kebenaran
adalah suatu pengetahuan seseorang yang berdasarkan fakta, yaitu sesuatu yang
nyata terjadi. Dengan tahu, orang menjadi yakin dan hilang keragu-raguannya (skeptic),
keyakinan inilah yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan.��
Kedua, keyakinan
adalah merupakan konsekuensi logis atas penemuan manusia terhadap suatu
kebenaran atau pengetahuan, jika kebenaran itu tak terbantahkan, maka akan
melahirkan suatu keyakinan. Keyakinan tidak mungkin akan lahir dari sesuatu yang
salah atau dari ketidaktahuannya, karena sesuatu yang salah itu bukan ilmu
pengetahuan.�����
Ketiga, Moralitas
adalah merupakan perilaku manusia sebagai implikasi atas kebenaran� fenomena-pengetahuan, baik pengetahuan appriory
(berdasarkan akal) maupun pengetahuan apposteriory (berdasarkan
pengalaman), sehingga apa yang diucapkan dan dilakukan manusia
mendasarkan pada kebenaran atau pengetahuan-ilmu pengetahuan;
Keempat, Radikalisme dan
terorisme sebagai bentuk otoritarianisme ajaran agama yang menghalalkan segala
cara dengan melakukan tindakan melawan hukum dan norma-norma kemanusiaan adalah
tindakan immoralitas dan irrasional dilakukan oleh oknum yang salah dalam
memahami kebenaran mutlak Tuhan. Secara epistemology, manusia tidak memiliki
kewenangan atas otoritasi kebenaran, apalagi secara akademik kebenaran
seseorang sangat relative dan subjektif yang harus diuji kebenarannya secara
public, karena� kebenaran itu milik semua
orang dan berlaku secara universal.���
Kelima, karaketerisitk
manusia rasional adalah keselarasan pikiran, perasaan dan perbuatan yang
mendasarkan pada kebenaran, keyakinan dan tindakan yang sesuai dengan norma dan
nilai etika dan estetika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia
rasional adalah manusia yang bermoral.�
BIBLIOGRAFI
Adib, H. Mohammad. (2011). Filsafat Ilmu:
Ontologi, Epistemol ogi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Pustaka
Pelajar. Google Schoolar
Anas, Mohamad, & Dkk.
(2018). Filsafat Ilmu, Orientasi Ontologis, Epistemologis dan Aksioloogis
Keilmuan (cetakan pe). Bandung: PT Rosda Karya. Google Schoolar
Anshari, Endang Saifuddin.
(1987). Ilmu. Filsafat Dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu. Google Schoolar
Atmadja, I., & Gede, Dewa.
(2014). Sudarsono, dkk, Filsafat Ilmu: dari Pohon Pengetahuan Sampai Karakter
Keilmuan Ilmu Hukum. Malang: Madani. Google Schoolar
Aziz, Abdaul, DY, Aceng, &
Dkk. (2015). Islam Ahlusunnah wal Jama�ah, Sejarah, Pemikiran dan Dinamika
NU Di Indonesia (cetakan ke). Jakarta: PP LP Ma�arif NU.Google Schoolar
Bakhtiar, Amsal. (2012). Filsafat
ilmu. Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT Raja Grafindo Persada. Google Schoolar
Endraswara, Suwardi. (2012).
Filsafat ilmu: Konsep, sejarah, dan pengembangan metode ilmiah. Yogyakarta:
Caps. Google Schoolar
Fautanu, Idzam. (2012). Filsafat
Ilmu Teori dan Aplikasi. Google Schoolar
Idris, Muh. (2014). Konsep
Pendidikan humanis dalam pengembangan pendidikan Islam. Dalam Miqot: Jurnal
Ilmu-Ilmu Keislaman, 38. Google Schoolar
Latif, Mukhtar. (2020). Orientasi
ke arah pemahaman filsafat ilmu. Google Schoolar
Pranarka, Aria M. W. (1987). Epistemologi
dasar: suatu pengantar. Yayasan Proklamasi, Centre for Stratc and
International Studies (CSIS). Google Schoolar
Sobur, Alex. (2017). Kamus
besar filsafat: refleksi, tokoh, dan pemikiran. Pustaka Setia. Google Schooolar
Sugiyono, P. (2019). Metode
Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (D. Sutopo. S. Pd, MT, Ir. Bandung:
Alfabeta. Google Schoolar
Sumantri, Jujun S. (1998).
Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Bersama dalam
Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antar Disiplin Ilmu. Nuansa
Bekerjasama Dengan Pusjarlit Press, Bandung. Google Schoolar
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu.
(2016). Sebuah Analisis Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Google Schoolar